Oleh: Ans Gregory da Iry
BAGI sebagian masyarakat Flores, khususnya Larantuka di Flores Timur dan Lela di Sikka,
pada tahun-tahun 1965-1980, tentu sangat
familiar dengan nama Dokter Johannes “Jan” Aliandoe. Beliau adalah dokter ahli
bedah pertama asal Flores, lulusan sekolah kedokteran di Belanda. Setelah berkarya selama beberapa
tahun di RS. Lela, Dr.Aliandoe pindah ke Jakarta dan menjadi dokter di Rumah
Sakit Akademik Atma Jaya di Pluit Jakarta Barat dan juga sekaligus sebagai
dosen dan pembina mahasiswa kedokteran universitas Atma Jaya Jakarta. Setelah
pensiun dari Atma Jaya, beliau kembali ke RS Lela dan menjabat direktur rumah
sakit misi yang diasuh oleh para Suster Abdi Roh Kudus (SSpS), kemudian jatuh
sakit dan wafat di RS Siloam Karawaci, Tangerang – Banten pada Maret 2011.
Dr. Jan Aliandoe adalah saudara dari Sinyo Aliandoe, tokoh
dan pemain sepak bola serta pelatih PSSI yang terkenal di tahun 1960 – 1980an.
Jika nama Sinyo sering masuk berita media massa dan jadi tokoh yang dikenal
luas di Indonesia, maka Jan Aliandoe lebih suka bekerja dalam senyap, tidak
pernah masuk media massa, tetapi tentu namanya dikenang oleh mereka yang pernah
mendapat perawatan dan pengobatan darinya, baik di Lela, Flores maupun di
kawasan Pluit, Jakarta tempat Dr. Aliandoe mengabdi dan melayani sampai akhir
hayatnya.
Saya mengenal Dokter
Aliandoe pada tahun 1965, ketika saya
sekolah di SDK Lela I, dan beliau baru datang dari Belanda dan mulai bekerja
sebagai dokter rumah sakit St. Elizabeth Lela. Dalam hidup saya, Aliandoe
adalah dokter pertama yang memeriksa kesehatan saya dan memberikan surat
keterangan sehat untuk bisa diterima sekolah di Seminari St. Johanes Berchmans
Todabelu/Mataloko pertengahan tahun 1965. Tahun
berikutnya, ketika sudah di seminari Todabelu, saya mengalami sakit di
perut dan oleh Pater Alfonsus Engels SVD,
tabib seminari, saya dberi surat pengantar untuk memeriksakan diri di
rumah sakit Elizabeth Lela pada waktu liburan besar. Dokter yang memeriksa dan
mengobati saya selama 4 atau 5 hari dalam perawatan di rumah sakit tersebut
adalah Dokter Aliandoe.
Saya ingat Dokter Aliandoe, yang ramah dan gesit – jalannya
cepat sekali – kemudian menikah dengan seorang perawat di rumah sakit itu.
Ketika dilangsungkan pesta pernikahan mereka
di aula rumah sakit, banyak orang-orang dari kampung Lela dan sekitarnya
datang menonton. Saya bahkan tidur di asrama karyawan rumah sakit, di mana dua
orang kakak sepupu saya tinggal dan bekerja, agar bisa menonton acara pesta
tersebut.
Beberapa tahun kemudian saya ke Jakarta, bekerja sebagai wartawan dan kuliah di Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (IPK) Atma Jaya, saya tahu bahwa Dokter Aliandoe sudah pindah ke Jakarta dan bekerja di rumah sakit medik Atma Jaya dan juga mengajar di Fakultas Kedokteran Atma Jaya. Saya pernah melihat beliau beberapa kali datang di kampus Semanggi tetapi tidak sempat bertegur sapa.
Dikirim Belajar di Negeri Belanda
Sebagaimana kita ketahui bahwa Gereja Katolik Flores
menjalankan karya kerasulannya, salah satunya adalah lewat pendidikan, baik
seminari sebagai pendidikan khusus bagi calon imam, maupun pendidikan umum bagi
kaum awam yang kompeten yang dipersiapkan untuk kelak memimpin dan membangun
masyarakat Flores. Pater Frans Cornelissen SVD adalah salah seorang yang memang
oleh Gereja ditugaskan khusus di bidang pendidikan, dan beliau – tentu dengan
persetujuan dan dukungan Gereja – mengirim sejumlah generasi muda awam katolik
asal Flores dan Timor untuk setudi di Belanda. Mereka dikirim secara berkelompok dalam beberapa gelombang sesuai
dengan pertimbangan pembiayaan dan tempat mereka akan belajar baik di
pendidikan tingkat menengah maupun di tingkat perguruan tinggi. Sebut saja:
Bapak Frans Seda dan teman-teman seangkatannya, lalu menyusul gelombang lain,
termasuk pemuda remaja Johanes Aliandoe.
Lahir di kota Larantuka, 20 Juni 1934 dari keluarga seorang
guru, menempuh sekolah dasar atau sekolah rakyat 3 tahun, 1943-1946, di Puhu, Adonara Timur tempat ayahnya bekerja sebagai guru. Jan
Aliandoe melanjutkan ke Herstelschakel School di Ndao – Ende, 1946-1948.
Karena kemampuan akademisnya yang menonjol, Jan Aliandoe
dikirim oleh P. Frans Cornelissen SVD untuk meneruskan pendidikannya di Sekolah
Menengah Bischoppelljk College, Sittard, Limburg, Belanda, 1949 – 1954 . Dan
kemudian mengikuti sekolah
Kedokteran Umum di Rijksunversiteit
Groningen Belanda, 1956 – 1963. Lulus
dari sekolah kedokteran umum, dokter Aliandoe bekerja di Brunssum Ziekenhuis,
Brunssum, Limburg, Belanda, 1963-1965. Dokter muda Aliandoe kembali ke Flores
dan ditempatkan di Rumah Sakit Santa Elizabeth Lela. Setelah bekerja 4 tahun di rumah sakit ini, ia dikirim lagi
oleh Misi Flores untuk melanjutkan pendidikan spesialis bedah di De Wever Ziekenhuis, Heerlen, Belanda,1969 –
1976. Selesai meraih keahlian sebagai Dokter Spesialis Bedah, ia kembali ke RS
Lela dan menjadi dokter bedah, 1976-1980.
Pindah ke RS Akademik Atma Jaya Jakarta
Selesai menjalani ikatan dinas di Lela, Dokter Aliandoe
pindah ke Jakarta pada 1980 dan bekerja di rumah sakit akademik Atma Jaya
sekaligus juga dosen Fakultas Kedokteran Atma Jaya hingga hingga 2009, termasuk
juga pernah selama 3 tahun menjabat direktur RS Akademik Atma Jaya, Jakarta.
Selama bekerja di Jakarta, Dokter Aliandoe menjadwalkan kunjungan rutin ke RS Lela 2x dalam setahun
yaitu pada bulan Mei dan Oktober untuk melayani kesehatan masyarakat Flores di
RS Lela. Pilihannya pada bulan-bulan tersebut adalah karena orang Katolik
Flores menjalankan devosi kepada Bunda Maria pada bulan Mei dan Oktober dan
biasanya mereka mengisinnya dengan berdoa dan berziarah ke Lela, Kota Wisung
Fatima. Menurut Dr. Aliandoe, Lela adalah tempat terbaik untuk devosi kepada
Bunda Maria.
Setelah memasuki usia pensiun pada 2009, Dr. Aliandoe
memilih kembali ke RS Lela untuk berkarya mengisi masa pensiun dengan
memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat lewat rumah sakit ini.
Cintanya kepada RS Lela sangat besar, karena di tempat inilah ia mulai merintis
karir kedokterannya dan di sini pula ia menemukan pasangan hidupnya, Ibu Rosa
da Lima Muga.
Pada Juli 2010 ia diangkat jadi direktur RS St. Elizabeth
Lela. Akan tetapi pada 6 Maret 2011 ia jatuh sakit dan kemudian diterbangkan ke
Jakarta dan setelah menjalani perawatan di RS Siloam Karawaci, Tangerang,
Dokter Johanes Aliando wafat pada 9 Maret 2011 dalam usia 76 tahun 9 bulan 11 hari.
Dokter yang murah senyum, ramah, sabar dan cekatan itu telah
melayani banyak orang baik di Flores maupun di Jakarta, khususnya para
mahasiswa kedokteran Unika Atma Jaya. Jakarta. Di kalangan FK Atma Jaya, Dokter
Aliandoe dikenal juga sebagai Dokter Misionaris karena pengabdian dan
pelayannya ‘dalam sepih’ tanpa publisitas, kepada masyarakat kecil baik di
Flores lewat Rumah Sakit Lela maupun di Jakarta melalui Rumah Sakit Akademik
Unika Atma Jaya (sumber: Frans Anggal/Flores
Pos, 12 Maret 201, Helena Kidi Labot dalam Helena’s blog Maret 2011,publikasi
Fakultas Kedokter Atma Jaya Jakarta ) @
Catatan: Artikel ini pernah dimuat dalam buku “Pater F.
Cornelissen SVD – Pahlawan Pendidikan di Flores dan Nusa Tenggara Timur”, karya
P. Alex Beding SVD, Penerbit Sabda, Jakarta, Sept 2019. Bagi Anda yang berminat
memiliki buku ini, mohon kirim WA ke 0813 996 22840. Ans Gregory da Iry adalah
editor dan kontributor tulisan untuk buku tersebut.
Editor: Farida Denura