JAKARTA, SCHOLAE.CO - Mahasiswa berkebutuhan khusus (MBK)
dalam proses pertumbuhan atau perkembangannya memerlukan pendidikan khusus dan
pelayanan yang tepat untuk bisa mengoptimalkan potensi yang dimiliki.
Hal ini disampaikan Alfikalia, M.Si., Psikolog dalam webinar
bertajuk "Paramadina Untuk Mahasiswa Berkebutuhan Khusus" yang
diselenggarakan Universitas Paramadina, Jum'at (22/4, 2022).
Turut hadir sebagai pembicara Dr. M. Arif. Taboer, M.Pd.
dosen Universitas Negeri Jakarta, dimoderatori oleh Tia Rahmania, M.Psi.,
Psikolog.
"Mahasiswa berkebutuhan khusus (MBK) memiliki
ketidakmampuan, hambatan, atau kesulitan dalam melakukan aktivitas tertentu,
mengakibatkan seseorang membutuhkan alat bantu khusus, modifikasi lingkungan
atau teknik-teknik alternatif untuk dapat berpartisipasi secara penuh dan
efektif dalam mengikuti pendidikan di perguruan tinggi" kata Dosen
Universitas Paramadina, Alfikalia.
Selanjutnya Ia menjelaskan kategori mahasiswa berkebutuhan
khusus yang dapat melanjutkan pendidikan di Universitas Parmadina yaitu mahasiswa
dengan gangguan low vision, mahasiswa tuna rungu, mahasiswa tuna daksa,
mahasiswa dengan gangguan Spektrum Autism, mahasiswa dengan gangguan pemusatan
perhatian dan/atau hiperaktivitas (Attention Deficit/Hiperactivity Disorder),
mahasiswa dengan kesulitan belajar, mahasiswa lambat belajar (slow learner),
mahasiswa dengan gangguan emosi/perilaku.
Menyinggung capaian pembelajaran MBK Alfikalia menyatakan
"Standar kompetensi lulusan mahasiswa berkebutuhan khusus sama dengan
kompetensi lulusan mahasiswa Paramadina lainnya, sesuai dengan prodi yang
dipilih."
Sementara itu dalam sambutannya Dr. Fatchiah Kertamuda,
Wakil Rektor bidang Akademik dan Kemahasiswaan mengungkapkan alasan mengapa
Universitas Paramadina membuka kesempatan belajar bagi MBK, dikarenakan
"Pendidikan untuk semua, Undang-undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa
setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang bermutu. Undang Undang
Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 5 (Ayat 2)
mengamanatkan bahwa 'Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional,
mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus'.
"
Dr. M. Arif. Taboer, M.Pd. dosen Universitas Negeri Jakarta
menyatakan "Mahasiswa yang banyak kami temui adalah mahasiswa yang
memiliki hambatan sensori, seperti keterbatasan dalam penglihatan dan
pendengaran, tetapi secara intelektualitas tidak mengalami masalah. Berikutnya
muncul MBK dengan hambatan intelektual seperti kondisi autisme, serta kondisi
fisik dan neurologis."
"Karena ini merupakan hak asazi dan mereka memilih melanjutkan studi di tempat kami kemudian kami coba membuka layanan. Alhamdulillah beberapa dari mereka sudah lulus, mahasiswa dengan hambatan pendengaran dan autisme telah menyelesaikan program Sarjana."
"Jadi yang jelas adalah bagaimana bekerja bersama
mereka, bagaimana mengembangkan pemahaman kita atas individu dengan disabilitas
setelah itu dipraktekan melalui akomodasi atau penyesuaian analisis silabus dan Rencana Pembelajaran
Semester (RPS), penyesuaian pengalaman belajar dan Evaluasi Belajar,"pungkas
Arif.
Editor: Farida Denura