Oleh: Dr. Sutejo,
M.Hum
TANGGAL 25 November adalah Hari Guru Nasional (HGN), yang
selalu diperingati untuk menghargai para pahlawan tanpa tanda jasa, yang telah
terpanggil nuraninya demi kemajuan bangsa dan negara. Menjelang HGN 2022, kita disentakkan oleh ragam fenomena
prihatin mengenai pelajar Indonesia, yang hakikatnya tidak boleh sepenuhnya
gejala itu ditimpakan pada institusi pendidikan, khususnya guru.
Di Tapanuli Utara, ada pelajar yang menendang seorang
nenek hingga terjengkang, di Nganjuk pelajar laki-laki memukul dan menendang
gadis pelajar hingga tersungkur, dan terakhir pelajar SMP di Sidoarjo yang
memaki-maki polisi saat diingatkan tidak memakai helm di jalan raya.
Dua bulan sebelumnya, di hutan kota, Jakarta Utara,
seorang pelajar usia 13 tahun bersama temannya merencanakan pemerkosaan
terhadap gadis 13 tahun bersama tiga temannya, yang disulut soal cinta yang
ditolak. Dan sejumlah kasus perundungan dan pelecehan seksual lain, di berbagai
daerah di Indonesia.
Sebagian pihak kemudian mengkritik ragam fenomena itu
sebagai kegagalan dunia pendidikan, padahal keluarga dan masyarakat mestinya
ikut bertanggung jawab.
Pendidikan itu sebuah sistem sosial yang terintegrasi,
antara lembaga, birokrasi, masyarakat, dan negara. Sebuah interaksi kehidupan
utuh dari dunia ilmu dan praktik kehidupan. Pendidikan butuh keteladanan nyata
semua pihak.
Untuk itu, penting kiranya kita merenung kembali
bagaimana menjadi guru terbaik di era yang serba terbuka, merdeka, dan dihujani
oleh "rudal-rudal" budaya asing, yang seringkali berdampak negatif
secara masif dan infiltratif.
Mari renungkan realitas profesi guru dalam ilustrasi berikut.
Tersebutlah, ada tiga orang guru yang bekerja di ruang kelas berbeda. Kemudian
ketiga guru itu ditanya, "Apa yang dikerjakan?" Guru pertama
menjawab, "Sedang mengajar." Guru kedua menjawab, "Melaksanakan
tugas." Sementara guru ketiga menjawab, "Mengantarkan siswa didik
menyelami kehidupan melalui pelajaran, agar mereka mampu berdiri sebagai
manusia yang bermakna." Begitulah, tiga guru itu menghayati profesi yang
sama, tetapi berbeda cita rasanya.
Jika dibaca sekilas, jawaban itu seakan tidak berbeda.
Tetapi, yang pertama, hanya mengantarkan peserta didik menjadi anak pintar.
Guru kedua, sekadar menjalankan tugas pekerjaan. Sementara, yang ketiga
melandasi pekerjaannya dengan rasa cinta dengan tujuan mulia. Dia melakukannya
atas nama kemanusiaan. "Menghidupkan" anak didik menjadi manusia yang
"menyala" dalam kehidupan.
Maka, bisa dibayangkan, manakah di antara ketiga guru yang menghayati profesi dengan benar atas tugas profesinya? Mereka pun, berdiri di depan kelas dengan totalitas dan komitmen berbeda. Ada yang hanya menyampaikan ilmu, ada yang hanya bekerja mendapatkan imbalan, dan ada yang membayangkan dirinya sebagai penggembala kehidupan, macam yang dilakukan para nabi, sais, dan orang-orang suci yang telah tercerahkan jiwanya.
Berbasis Cinta
Guru berbasis cinta adalah guru yang bekerja seperti
kategori guru ketiga dalam ilustrasi sebelumnya. Guru yang sadar membekali anak
didik agar bisa hidup dan mandiri. Guru dengan kesadaran cinta ditandai oleh
perhatian, kepedulian, kerelaan, dan pengorbanan dalam bekerja.
Mereka diliputi hasrat yang bergelora karena rasa
memiliki yang mendalam, sehingga takut kehilangan akan masa depan anak
didiknya. Guru yang senantiasa diliputi rasa "cemburu positif"
manakala melihat guru lain mampu berbuat lebih baik dari dirinya.
Guru yang bergerak dari rasa cinta tidak saja memiliki
seperangkat emosi kasih di atas rata-rata, tetapi juga memiliki kreativitas
tinggi. Selalu berpikir tentang cara, pendekatan, model, dan teknik terbaik
dalam mengajar, agar jiwa dan pikiran anak didiknya berpijar. Guru yang tak
lelah berkreasi mengantarkan peserta didik mencerna pelajaran, menguraikan
makna kehidupan di balik materi yang disajikannya.
Selanjutnya, guru penting memiliki kemampuan visi dalam
membangun orientasi hidup siswa, yang diawali dengan pengulikan bakat dan
minat, mendampinginya sehingga menjadi "modal besar" bagi masa
depannya.
Naluri investigatif dalam mendedah potensi terdalam
siswa, mengangkat ke permukaan, dan memolesnya menjadi kekuatan hidup peserta
didik.
Dalam bahasa Gardner, peserta didik itu memiliki
kecerdasan majemuk, itu mutlak disadari guru, sehingga mampu memberi
memfasilitasi pembelajaran bermakna dan berhasil guna bagi kehidupannya. Untuk
kehidupan sosial masyarakatnya.
Guru berbasis cinta penting menjadi navigator kehidupan
mereka, penunjuk dalam mengarungi gelombang hidup, pelatih mengayuh perahu, dan
akhirnya berhasil melahirkan anak didik serupa dan seperkasa pelaut ulung.
Butuh kesadaran berlipat, mengingat pengalaman hidup guru pun beragam pula.
Guru penting berbagi pengalaman hidup positif sebagai
modal dan model belajar kehidupan secara langsung. Keterbukaan adalah dasar
terbaik dalam mengemas pembelajaran berbasis kebutuhan hidup.
Pembelajaran mutakhir butuh guru yang luwes dan multitalenta. Pencerita yang menggoda, motivator yang dinamis, orator yang mumpuni, hingga teladan berkearifan. Era teknologi informasi berbasis digital bisa ditaklukkan, minimal guru tak kalah menarik perannya. Bagi saya, peran dan kehadiran guru tak mungkin tergantikan.
Apapun, sumber belajar di luar guru mestinya hanya sebuah
pendukung sistem pembelajaran, sebagai media atau sarana belaka. Hubungan
bernyawa tentu berbeda dengan yang tidak bernyawa.
Guru berjiwa konselor barangkali karakter lain yang harus
dipersiapkan. Permasalahan anak didik rasanya tak cukup diselesaikan guru
Bimbingan Konseling (BK) mengingat kompleksitas belajar dan pembelajaran,
gurulah yang paling mengerti dan memahami.
Kehadiran guru berjiwa konselor setiap saat akan menjadi
lampu penerang setiap kali "kegelapan" menghampiri. Guru demikian,
arifnya memiliki catatan sikap murid-murid yang diajarnya. Idealisme ini tidak
sulit diwujudkan manakala komitmen dan totalitas guru berjiwa konselor telah
melekat secara profesional.
Dalam mewujudkan peran-peran di atas, mau tidak mau, guru
dituntut kreatif dan inovatif dalam mengemas, melaksanakan, dan mengevaluasi
pembelajaran. Kreativitas sesungguhnya hanya sebuah kesadaran berbuat yang
berbeda, sementara inovasi memang menuntut hal baru dari sebelumnya.
Guru dalam tuntutan demikian butuh karakter diri sebagai
pembelajar sepanjang hayat, dan inilah pesan filosofis pendidikan kita yang
sering terlupa.
Kecakapan Berpikir
Menjadi guru mutakhir, butuh kerelaan diri meningkatkan
paradigma (wawasan) baru pendidikan. Dengan apa? Utamanya, dengan literasi
baca-tulis yang sudah menjadi darah daging di tubuh seorang guru. Buku-buku
karya Munif Chatib, macam "Sekolahnya Manusia" dan "Gurunya
Manusia", menarik dijadikan teman pengulik wawasan.
Kedua buku itu akan meningkatkan kesadaran kita sebagai
seorang guru, bahwa mengajar dan mendidik itu adalah mengemban misi dan tugas
kemanusiaan. Sebagaimana disinggung sebelumnya, realitas guru kita masih banyak
yang hanya transfer ilmu atau sekadar bekerja mendapatkan gaji. Profesi guru
tentu jauh lebih mulia daripada hal demikian.
Buku-buku pendidikan yang muncul awal tahun 2000-an
tampaknya perlu ditengok kembali. Dua buku DePorter dkk, "Quantum
Teaching" dan "Quantum Learning" , misalnya, menarik ditengok
ulang, didaras-kupas sedalam mungkin. Pun dua buku Thomas Amstrong berjudul
"Sekolah Para Juara" dan "Setiap Anak Cerdas!", menantang
pula didatangi lagi, diajak dialog dengan teknik membaca "mengikat
makna" ala Hernowo.
Pendek bahasa, guru mutakhir penting menjadi seorang yang gila baca-tulis sebagai wujud guru berbudaya literasi. Tuntutan guru mutakhir, mengamanatkan bagaimana guru cerdas membudayakan literasi baca-tulis, numerik, finansial, sain, digital, dan budaya kewarganegaraan.
Jika guru-guru kita literat, maka besar kemungkinan
peserta didik akan literat pula. Bayangkan jika keadaan itu berkebalikan
adanya.
Dalam rangka meningkatkan wawasan kita sebagai guru, maka
dibutuhkan adanya budaya berpikir. Budaya berpikir akan mengantarkan untuk
senantiasa membungkus pembelajaran secara logis, rasional, kritis, analitik,
sistematis, dan argumentatif.
Tidak saja itu, tetapi juga kecakapan berpikir dasar lain
macam berpikir induktif, deduktif, linier, realistis, empirik, investigatif dan
eksploratif, wajiblah dikuasai. Guru dengan seperangkat kecakapan berpikir
demikian, dipastikan mampu berbahasa dengan jernih, bernas, logis, dan
komunikatif, yang tentu akan sangat membantu peserta didik dalam belajar ilmu
dan kehidupan. Sistematika berbahasa komunikasi yang mudah diikuti dan sesuai
konteks kebutuhan hidup mutakhir peserta didik.
Di sinilah, jika alternatif di atas terpenuhi, kita bisa
bermimpi lahirnya guru-guru yang sekaligus menjadi guru kehidupan peserta
didik. Guru yang selalu mengangkat persoalan hidup terkini, dikaitkan bidang
studi, didaras dan diulik-ulik maknanya sehingga melahirkan kesadaran indah
tentang kehidupan yang harus dihadapi kelak.
Guru-guru yang benar-benar terpanggil nurani jiwanya
berbuat terbaik hingga titik darah penghabisan. Guru-guru yang memiliki jiwa
berkorban mengantarkan generasi bangsa memasuki "medan pertempuran
kehidupan", yang hakikatnya lebih sengit daripada perang nyata.
Bukankah tugas keguruan itu lebih subtil, berlaga di
medan jiwa, mental, dan spiritual yang hanya bisa dikenali tanda-tanda
permukaannya?
Akhirnya, apa pun zamannya, serumit apa pun kehidupan,
jika kualitas pendidikan dilakukan para guru kehidupan benar, dipastikan akan
hadir generasi yang tangguh, militan, kreatif, solutif dan mampu mandiri.
Seperangkat pesan mental di balik Revolusi 5.0 yang dipelopori Jepang,
barangkali menjadi darasan lain yang mendesak diinternalisasikan.
*) Dr. Sutejo, M.Hum adalah budayawan, dosen di STKIP PGRI Ponorogo, pengagas Sekolah Literasi Gratis (SLG) dan alumnus S3 Unesa Surabaya.
Sumber: Antara
Editor: Dr. Sutejo, M.Hum