ARAH KITA | ARAH DESTINASI | ARAH PROPERTI | ARAH POLITIK | ARAH DESA

Hanya 9 Persen Dosen Digaji Lebih dari Lima Juta Rupiah, Prof Bambang: Perlu 'Bargaining Power'

01 Mei 2023
Hanya 9 Persen Dosen Digaji Lebih dari Lima Juta Rupiah, Prof Bambang: Perlu 'Bargaining Power'
Ilustrasi: Hanya ada sembilan persen dosen di Indonesia yang menerima gaji lebih dari lima juta rupiah per bulannya. (Dunia Dosen)

JAKARTA, SCHOLAE.CO - Peneliti di Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Milda Istiqomah, Ph.D. mengatakan hanya ada sembilan persen dosen di Indonesia yang menerima gaji lebih dari lima juta rupiah per bulannya.

"Realitanya dosen memiliki kedudukan yang lemah. Data menyebutkan hanya sembilan persen dosen yang gajinya diatas 5 juta rupiah," kata Milda dalam diskusi mengenai solidaritas akademisi yang diikuti secara daring di Jakarta, Senin (1/5/2023).

Milda menyebutkan terdapat 91 persen dosen digaji di bawah angka lima juta rupiah yang artinya terdapat dosen yang tidak digaji dengan layak, tidak sesuai dengan beban kerja, dan tidak sebanding dengan apa yang diterima.

Milda mengatakan hal tersebut memicu adanya ketimpangan dan berisiko menyebabkan konflik yang bisa menguat dan memiliki pengaruh yang signifikan.

"Serikat pekerja secara umumnya ada karena perusahaan bersifat sepihak dan eksploitatif. Makanya ada serikat pekerja di hampir setiap perusahaan karena adanya ketimpangan tersebut," katanya.

Dosen di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang ini mengatakan perbincangan dan penelitian soal perlindungan hukum kepada dosen secara umum telah dilakukan sejak tahun 2015.

Hasilnya adalah dengan Undang-Undang (UU) No. 21 Tahun 2000 yang mengatur tentang Serikat Buruh/Pekerja juga bisa menjadi landasan hukum berdirinya serikat dosen.

Milda berharap dengan adanya serikat dosen dapat menghapuskan ketimpangan pada dosen serta menjadi wadah dalam menyalurkan aspirasi, keluhan, dan tuntutan.

"Selama ini dosen menyampaikan keluhan melalui apa? Kita hanya bisa buat formulir menandatangani petisi, adakah hasilnya?," kata Milda yang memperoleh gelar S3 di University of New South Wales, Australia itu dikutip Antara.

Perlu ‘Bargaining Power'

Ketua Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian, dan Pengembangan (Ditlitbang) Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof. Dr. Bambang Setiaji menyebutkan dosen memerlukan bargaining power (daya tawar) yang lebih tinggi terhadap pemilik yayasan pendidikan untuk meningkatkan kesejahteraannya

 "Kalau di kesehatan, dokter punya bargaining power yang besar, sedangkan pemilik rumah sakit hanya sedikit. Kalau di pendidikan, dosen bargaining power-nya lemah, pemilik yayasan bisa sangat kaya dibandingkan dosennya," kata Bambang dalam diskusi mengenai solidaritas akademisi yang diikuti secara daring di Jakarta, Senin (1/5/2023)

Bambang mengatakan pemerintah perlu membantu meningkatkan bargaining power para dosen, khususnya bagi dosen yang bekerja di universitas swasta, karena ketimpangannya sangat jauh dibandingkan dengan pemiliknya.

Bambang menjelaskan bargaining power antara pemilik dan pekerja dalam sebuah industri merupakan dua faktor produksi yang penting untuk menciptakan produk unggul, tak terkecuali dosen dan pemilik institusi pendidikan.

Bambang mengungkapkan industri pendidikan adalah industri paling menguntungkan yang bisa dimiliki oleh rakyat biasa non-konglomerat.

"Kalau ini diambil konglomerat, habis sudah, tidak ada lagi tempat untuk inlander karena semua industri habis disapu oleh mereka," kata Bambang.

Bambang yang juga Rektor Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur itu mendorong pemerintah agar mendesak industri pendidikan untuk dapat dimaksimalkan oleh rakyat.

Ia menjelaskan pendidikan adalah sektor publik yang perlu dibantu dengan adanya sertifikasi untuk memperoleh bantuan pemerintah bagi guru dan dosen, baik negeri maupun swasta.

"Jangan dihapus (sistemnya), di Australia saja baru didirikan sekolah Muhammadiyah dengan guru yang digaji penuh oleh pemerintah," tambahnya dikutip Antara

Bambang menambahkan bahwa perbaikan bargaining power tidak hanya berlaku di sekolah dan universitas swasta, tapi juga pondok pesantren.

"Terkadang ustadnya hanya dapat sedikit, tetapi pemiliknya banyak banget," pungkas Guru Besar Program Studi Ekonomi Pembangunan Universitas Muhammadiyah Surakarta itu.

Dosen Harus Berserikat

Sementara Koordinator Kaukus Indonesia Kebebasan Akademik (KIKA), Satria Unggul memaparkan ada tiga alasan mengapa dosen harus berserikat di momen Hari Buruh Internasional yang jatuh pada hari ini.

“Setelah terbitnya Permenpan RB Nomor 1 tahun 2023, ada fenomena gunung es yang akhirnya muncul ke permukaan, dan ada tiga alasan mengapa dosen harus berserikat untuk melindungi hak-hak dasar tenaga kerja di perguruan tinggi,” kata Satria pada diskusi tentang membangun solidaritas akademisi di tengah birokratisasi perguruan tinggi yang diikuti secara daring dari Jakarta, Senin (1/5/2023).

Alasan pertama adalah kesadaran kolektif bahwa dosen adalah buruh, yang definisi standarnya telah diatur di pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja atau Serikat Buruh juncto Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

“Siapapun yang bekerja dan menerima upah, kita adalah buruh. Terkadang pandangan dosen juga buruh di kalangan internal dosen sendiri ada dilematika dan persoalan, tetapi sebagaimana kita yang menjual jasa dan melakukan aktivitas sesuai kemampuan, itu juga termasuk buruh,” ujar Satria.

Alasan kedua, yakni karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa situasi dan kondisi ketenagakerjaan semakin beragam, sehingga dosen harus berserikat

Ragam pekerja tersebut, di antaranya pekerja yang tidak memiliki keterampilan (unskilled labour), pekerja yang memiliki keterampilan (skilled labour), dan freelancer (tenaga kerja lepas) yang juga merupakan bagian dari pekerja.

“Dosen masuk skilled labour, oleh karena itu pikiran, karya dan kerjanya di dunia akademik tidak boleh didisiplinkan, dan di sisi lain harus juga diperjuangkan bagaimana agar kesejahteraan dosen menjadi isu utama,” kata Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya ini.

Selain itu, menurutnya, kondisi dosen dalam konteks daya tawar dengan pimpinan perguruan tinggi juga sulit, sedangkan kemampuan berhimpun, berserikat atau berpendapat, acapkali tertekan atau didiskriminasi.

"Banyak tekanan, ancaman, dan intimidasi terhadap insan akademik hanya karena memperjuangkan hak-hak dasarnya," kata Satria.

Dari kedua alasan yang telah diungkapkan, masuk pada kesimpulan ketiga, yakni dosen harus bersatu untuk mengatasi setumpuk persoalan yang kerap dihadapi belakangan ini, karena dengan serikat, persatuan dosen bisa dibangun.

“Dosen harus bersatu, mementingkan inklusivitas konsolidasi, yakni bersatu dengan sesama buruh lainnya untuk posisi tawar yang lebih kuat terhadap masalah regulasi yang dapat merugikan pada Permenpan-RB Nomor 1 tahun 2023,” kata Satria.

Ada poin-poin permasalahan, menurut Satria, yang penting menjadi bahasan pada Permenpan-RB Nomor 1 tahun 2023, yakni pengerjaan beban administrasi dosen yang berlebihan, terlalu banyaknya aplikasi yang tidak terintegrasi, dan kebijakan sertifikasi dosen yang terlalu rumit dan menjadi peluang praktik kecurangan.

Selain itu, otonomi perguruan tinggi yang transparan dan akuntabel untuk governance Sumber Daya Manusia juga harus diutamakan, kinerja dan jenjang karir dosen yang seharusnya khusus bagi penilaian dosen, dan tidak sama seperti Aparatur Sipil Negara (ASN) lainnya.

Kemudian, pendisiplinan, tekanan, dan ancaman terhadap kebebasan akademik dan berekspresi juga akan menjadi persoalan dalam aturan tersebut apabila dosen tidak berserikat.

 



 


Editor: Farida Denura
KOMENTAR