JAKARTA, SCHOLAE.CO - Akademisi yang juga Dosen Ilmu Manajemen Universitas Indonesia (UI) Kanti Pertiwi memaparkan hasil survei sementara mayoritas gaji dosen yang dikumpulkan dari 1.300 responden adalah Rp2 juta hingga Rp5 juta per bulan.
“Rentang gaji yang paling banyak
adalah di angka 2-3 juta per bulan, dan ada 4-5 juta per bulan, jadi mayoritas
2-5 juta per bulan. Beberapa mendapatkan penghasilan tambahan dengan menjadi
pejabat struktural di kampusnya masing-masing, walaupun itu jadi persoalan
tersendiri,” kata Kanti pada diskusi tentang serikat dosen yang diikuti secara
daring di Jakarta, Senin (1/5/2023) dikutip Antara.
Pendapatan ini apabila dibandingkan
dengan tuntutan kualifikasi dosen yang harus menempuh pendidikan S2 atau S3,
akan menghabiskan sumber daya yang tidak sedikit untuk sekolah, beberapa dosen
bahkan berhenti dari pekerjaan rutin dan ketika kembali hanya diberikan
kompensasi yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka.
"Periode awal karir dosen
adalah masa-masa kritis. Dengan gaji 2-3 juta bergelar S2, dan telah bekerja
kurang dari tiga tahun, di usia mereka itu sedang membangun rumah tangga, ada
cicilan hunian, biaya sekolah anak yang tidak sedikit, dan hanya sembilan persen
partisipan survei yang mendapatkan gaji di atas angka tersebut," ujar
Kanti.
Kanti mengatakan, data ini masih
sementara dan analisisnya sedang dalam proses.
“Dalam survei tersebut, kami
mengajukan pertanyaan kepada partisipan yang berkenan mengunggah slip gaji
dengan nama yang telah disamarkan, dan survei tersebut memuat
pertanyaan-pertanyaan seputar kesejahteraan dosen, hingga kini datanya masih
kami olah ," tutur Kanti.
Ia juga menuturkan bahwa riset ini
dilakukan secara mandiri tanpa sponsor, dengan melibatkan beberapa dosen untuk
merespon kegelisahan rekan sejawat di media sosial Twitter yang silih berganti
berbagi tentang kondisi mereka.
Dia memaparkan, setelah survei
tersebut dirilis, banyak dosen yang merasa tidak puas karena ada beberapa
pertanyaan dan kegelisahan mereka yang belum terakomodasi.
"Banyak yang belum puas,
tetapi kami senang karena itu tandanya banyak yang antusias dengan inisiatif
ini, ke depan mungkin bisa kami follow-up dengan riset yang lebih matang dari
segi desain," kata Asisten Ahli UI ini.
Ia menjelaskan, ada tiga temuan
besar pada hasil survei sementara, pertama dan yang paling umum diserukan yakni
upah dosen di Indonesia masih jauh dari layak.
"Kami memahami bahwa dosen itu
menerima pendapatan tetap dari institusinya dengan berbagai macam komponen,
kalau dosen tetap ada gaji pokok, tunjangan fungsional, tunjangan profesi, dan
beragam jenis honorarium, walaupun honorarium juga variabelnya tergantung
jumlah Satuan Kredit Semester (SKS) saat mengajar dan jumlah mahasiswa yang
dibimbing pada satu periode tertentu," katanya.
Dia juga mengatakan, banyak dosen-dosen muda yang baru selesai menamatkan studi doktoral sudah diangkat menjadi pejabat struktural di perguruan tinggi, sehingga waktu itu yang seharusnya bisa digunakan untuk meneliti malah tergerus untuk urusan-urusan lain yang menjadi tanggung jawab jabatannya.
"Mereka yang bisa menyentuh
angka 5 juta per bulan itu mayoritas ada tambahan di luar profesi dosen
misalnya menjadi konsultan, tenaga ahli, guru bimbingan belajar, bahasa asing,
hingga ada yang membuka usaha sendiri dan berdagang, jadi gaji dosen yang besar
itu sudah tidak terkait dengan profesi dosennya," tutur Kanti, prihatin.
Poin terakhir, ada ketimpangan di
antara para dosen, dimana mereka yang meniti karir memiliki beban cukup berat
dengan ekspektasi tinggi, tetapi mendapatkan kompensasi yang tidak seberapa.
Ia juga mengatakan bahwa dosen kini
menjadi objek pengawasan yang merupakan konsekuensi dari sistem pendidikan
neoliberalisme, di mana institusi publik harus akuntabel sehingga ada rezim
audit yang membebani dosen. Audit tidak hanya dilakukan di sisi keuangan,
melainkan juga audit kinerja.
"Dosen-dosen muda banyak yang
mengeluh kelimpahan pekerjaan administratif, mengurus jurnal yang kompensasinya
tidak seberapa, atau harus mengikuti kepanitiaan yang sangat menyita waktu dan
menguras tenaga. Jika terlambat mengisi kebutuhan administratif, angka kredit
hangus, dan dosen cuma bisa diam," keluh Kanti diberitakan Antara.
Editor: Farida Denura